TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. — Kejadian 2:15
Setiap tanggal 22 Maret, kita memperingati Hari Air Sedunia. Perayaan ini digagas pada tahun 1993 di Rio de Janeiro, Brasil, dalam konferensi PBB tentang lingkungan dan pembangunan. Tujuannya adalah untuk merayakan air dan mengatasi krisis air global.
Setelah lebih dari 20 tahun dirayakan, apakah krisis air global dapat diatasi? Kondisi menunjukkan sebaliknya. UN World Water Development Report 2024 menyatakan bahwa seperempat populasi dunia menghadapi tingkat kekurangan air yang sangat tinggi, di mana mereka menggunakan lebih dari 80% pasokan air tawar terbarukan setiap tahunnya. Celakanya, kurangnya akses terhadap air dapat mengakibatkan berbagai masalah kesehatan akibat sanitasi yang buruk, menghambat produksi pertanian, dan bahkan mengganggu perdamaian serta kesejahteraan negara.
Situasi yang cukup memprihatinkan, bukan?
Menggali Akar Masalah
Pada tahun 1967, Lynn White dalam artikelnya yang berjudul “The Historical Roots of Our Ecological Crisis” menuliskan sesuatu yang mengejutkan. Ia berpendapat bahwa Kekristenanlah yang harus bertanggung jawab terhadap krisis ekologi yang terjadi di dunia. Kritik yang sangat keras.
Menanggapi Lynn White, Edward R. Brown melihatnya dari sisi lain. Ia tampaknya setuju bahwa kaum religius ikut andil dalam krisis lingkungan, tetapi ia tidak melihat religiusitas sebagai persoalannya. Menurutnya, persoalan ini adalah persoalan spiritual, sehingga penyelesaiannya juga membutuhkan solusi spiritual.
Apakah kritik Lynn White masih relevan hingga saat ini? Jika membaca sebuah tulisan berjudul “Indonesia Is Home to the Most Climate Change Deniers in the World”, kita dapat menyimpulkan bahwa pernyataan Lynn White masih sangat relevan. Artikel tersebut menyebutkan bahwa salah satu penyebab utama masyarakat Indonesia menyangkal perubahan iklim adalah rendahnya tingkat pendidikan dan faktor agama.
Jadi, bagaimana? Mengutip pendapat Edward R. Brown, karena kita memiliki persoalan yang bersinggungan dengan masalah spiritual, maka kita juga membutuhkan solusi secara spiritual. Maka, bagi orang Kristen, langkah awal yang bisa kita lakukan adalah bertobat! Selama ini, kita telah mengabaikan persoalan lingkungan.
Kedua, kita perlu bersama-sama dengan orang Kristen di seluruh dunia untuk bertindak bagi lingkungan, dimulai dengan membangun pemahaman secara teologis. Terakhir, kita perlu membangun gerakan-gerakan untuk menyelesaikan persoalan lingkungan di bumi yang kita cintai.
Persoalan spiritualitas bukanlah satu-satunya persoalan. Sisi lain yang patut dicermati adalah kapitalisme. Di tengah krisis lingkungan yang melanda dunia, dunia bisnis tetap harus berjalan sebagaimana biasa. Mesin-mesin industri tetap beroperasi, tidak boleh ada stagnasi ekonomi, semuanya harus terus berjalan. Dan tebak siapa yang dikorbankan? Lingkungan. Sumber dayanya dieksploitasi demi kepentingan produksi.
Dalam sebuah buku berjudul What Every Environmentalist Needs to Know About Capitalism, Fred Magdoff dan John Bellamy Foster menyatakan dengan jelas bahwa business as usual adalah jalan bagi kehancuran planet bumi.
Maka dari itu, respons dari The Lausanne Movement sangat tepat. Salah satu hasil dari The Lausanne Global Consultation on Creation Care and the Gospel yang diadakan di Jamaika tahun 2012 adalah memikirkan sistem ekonomi yang harmonis dengan seluruh ciptaan. Salah satu saran yang dapat dipertimbangkan adalah bekerja lebih sedikit. Sebuah lembaga think tank bernama Autonomy menyebutkan bahwa untuk menjadi masyarakat yang pro-lingkungan dan berkelanjutan, salah satu strateginya adalah dengan mengurangi waktu kerja mingguan. Selain itu, kita juga harus mengurangi konsumsi barang secara berlebihan. Secara sederhana, sebagaimana saran John Stott dalam bukunya Radical Disciple, kita perlu mengubah gaya hidup kita menjadi gaya hidup sederhana.
Apakah Masih Ada Peluang?
Apakah masih ada peluang untuk mengatasi permasalahan lingkungan? Jawaban atas pertanyaan tersebut memang sulit. Tetapi, bukankah kita memiliki Kristus yang akan memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di surga maupun di bumi? (lih. Kolose 1:20). Dengan demikian, melihat kondisi lingkungan, kita memiliki pengharapan yang pasti bahwa pemulihan akan terjadi. Oleh karena itu, kita juga memiliki energi untuk terus berjuang dan mempertanggungjawabkan ketidakbijaksanaan umat manusia dalam mengelola bumi milik Allah.
Penulis adalah Staf Mahasiswa Perkantas Malang