Selain budaya korupsi dan suap-menyuap, budaya kerja yang “alakadarnya” juga menjangkiti banyak pegawai negeri sipil di Indonesia. Itulah tantangan yang dihadapi Sanggam Pratama Hasudungan Simbolon di tempatnya berdinas, RSUD Dr. Soedarso, Pontianak. Alumnus Akademi Teknik Elektromedik (sekarang Poltekkes Jakarta II) ini mengaku bahwa menjadi seorang pegawai negeri sama sekali tak terpikirkan olehnya dahulu, mengingat persaingan yang sangat ketat dalam tes penerimaan. Setelah lulus, suami dari Hernawani ini sempat bekerja di Jakarta sebelum kembali ke Pontianak pada tahun 2005.
Menjadi pegawai negeri adalah satu pilihan yang terpikirkan oleh Ketua BPC Perkantas Kalbar ini pada waktu itu, karena pilihan profesi sesuai keilmuannya yang sangat terbatas di Pontianak. Staf Instalasi Pemeliharaan Fasilitas Rumah Sakit Dr. Soedarso ini meyakini pimpinan Tuhanlah yang membuatnya lolos tes CPNS secara “murni,” alias tanpa suap atau sogokan. Pada waktu itu, kisahnya, ada tiga posisi yang ditawarkan, dan kebetulan pendaftarnya pun hanya tiga orang.
Retreat PI PMK Hang Jebat bulan September 1995 diingatnya sebagai titik awal mengenal Kristus secara pribadi. Setelah lahir baru, Sanggam dilayani melalui kelompok kecil dan aktif melayani sebagai pemusik di PMK Jakarta Pusat di Kramat. Ketika Perkantas News bertanya, apa yang membuatnya tetap bertahan melayani di Perkantas, penyuka jus buah ini mengatakan, bahwa visi pelayanan Perkantas yang cocok dengan apa yang dibutuhkan oleh siswa, mahasiswa, dan alumni. Perkantas, menurut penggemar olah raga ini, dibutuhkan oleh para orang tua sebagai partner dalam menjagai kehidupan anak-anak siswa dan mahasiswa.
Sulung dari tiga bersaudara ini merasakan sendiri dampak positif dari pelayanan pemuridan yang dikerjakan oleh Perkantas, terutama di dalam menghadapi tantangan dunia kerja. Prinsip “selalu memberikan yang terbaik” membuat kinerjanya dikagumi oleh orang lain dan bahkan atasan. Hal itu terbukti dari dua kali penawaran naik jabatan sebagai kepala divisi yang ditolaknya, karena ia merasa belum siap. Maklum, penawaran-penawaran itu datang hanya dalam dua tahun setelah pertama kali ia berdinas di kantornya.
“Sebenarnya kalau kita bekerja baik di instansi pemerintahan itu tidak usah takut karir mandek,” demikian ungkapnya. Menanggapi sikap “alergi” para mahasiswa dan alumni Kristen untuk terjun ke birokrasi, Sanggam berkata bahwa untuk memperbaiki permasalahan negara ini, dan justru sisi terpenting untuk diperbaiki adalah birokrasi atau pemerintahan. Kalau tidak ada orang-orang yang baik di birokrasi, upaya-upaya itu akan sia-sia. Sekalipun masih ada perilaku korup, Sanggam meyakini bahwa ke depan, perilaku seperti itu tidak akan “ngetren” lagi, terutama mengingat masyarakat yang semakin kritis. “Masyarakat yang membutuhkan layanan yang baik bisa menjadi ‘teman’ kita,” demikian ungkap penyuka Mazmur pasal 23 ini. Mazmur itulah yang menjadi pegangannya untuk tidak takut menghadapi segala tempat, waktu, dan kondisi, karena Tuhan menyertai. (ays)