Adakah yang masih ingat dengan sumpah sarjana yang diikrarkan pada hari wisuda? Jika kita masih ingat rumusan lengkapnya, maka kita layak mendapatkan dua jempol. Pada umumnya, seorang wisudawan/ti akan melupakan sumpah itu dalam waktu tidak lebih dari 24 jam. Setelah acara ramah tamah dengan para kerabat, suasana sukacita yang terwujud dalam salam-menyalam, selfie, dan wefie, mendominasi rasa dan pikiran, sehingga kita cenderung mengabaikan kalimat-kalimat “syahadat” seorang sarjana. Isi kalimat sumpah sarjana mungkin akan berbeda di setiap almamater, namun spirit-nya tetap sama, yakni mengemban tugas dan pengabdian kepada bangsa berdasarkan ilmu dan semangat karya kaum intelektual.
Sarjana adalah insan yang unggul, yang diharapkan dapat memberi sumbangsih bagi bangsa. Definisi “Sarjana” menurut KBBI adalah, “Gelar strata satu yang dicapai oleh seseorang yang telah menamatkan pendidikan tingkat terakhir di perguruan tinggi.” Seseorang yang telah mendapat gelar sarjana tentu akan merasa bangga dengan kelulusannya karena telah melewati perjuangan berat di perguruan tinggi. Negara pun memahami peranan besar para lulusan level ini, sehingga mengapresiasi para sarjana dengan mencanangkan 29 September sebagai Hari Sarjana Nasional. Para sarjana dianggap menjadi salah satu penentu kemajuan bangsa.
Namun demikian, pertanyaan besar muncul. Ada berapa banyak sarjana di Indonesia dan ada berapa banyak yang sudah memberikan sumbangsih bagi pembangunan bangsa? Lebih khusus lagi, ada berapa banyak sarjana Kristen yang sudah turut berkontribusi dalam kemajuan bangsa? Faktanya, sarjana masih menjadi bagian dari angka pengangguran yang tinggi. Berdasarkan data BPS pada Februari 2011, terdapat 8, 12 juta (6,8%) angkatan kerja yang menjadi penggangguran terbuka (sama sekali tidak memiliki pekerjaan) dan sekitar 600 ribu di antaranya (7,6%) adalah sarjana. Angka yang cukup besar untuk aset bangsa yang tidak diberdayakan! Di mana sarjana Kristen? Apakah alih-alih berkontribusi bagi kemajuan bangsa, sarjana Kristen justru menjadi bagian dari permasalahan bangsa? Dan, alangkah miris jika hal tersebut terjadi pada sarjana yang dulunya pernah terlibat dalam pelayanan siswa atau mahasiswa.
Bagaimana sarjana kristen yang dikenan Tuhan?
Charles Spurgeon pernah menulis, “Adalah tugas dan hak istimewa kita untuk menggunakan hidup kita bagi Yesus. Kita tidak dimaksudkan untuk menjadi contoh hidup manusia yang terpelihara dengan baik, melainkan menjadi korban yang hidup, yang habis terbakar. Kita menghabiskan dan dihabiskan, bukannya hidup enak-enakan dan menyenangkan daging kita.” Kata-kata Spurgeon ini didasarkan pada Roma 12:1-2, salah satu perikop yang paling menantang untuk mendesak kita memberi hidup seutuhnya kepada Allah.
Rasul Paulus memulai surat Roma dengan seruan yang dalam mengenai apa yang telah Allah kerjakan dalam hidup orang percaya (Pasal 1-11). Imperative selalu didahului dengan indicative. Perintah untuk melakukan sesuatu hampir selalu didahului dengan penjelasan panjang apa yang sudah Tuhan lakukan. Paulus berkata, “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.”
Kata “Karena itu…” menjadi kalimat transisi penting sebelum imperative diuraikan Paulus sepanjang pasal 12-16. Dan kata “kemurahan Allah” menjadikan perintah ini relevan untuk kita taati. Hanya dengan mengingat apa yang sudah dilakukan Allah dalam kemurahan-Nya melalui pembenaran di dalam Kristus Yesus sajalah, maka perintah mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup menjadi masuk akal.
Persembahan yang hidup
Pada Perjanjian Lama (PL), kita menemukan bentuk persembahan yang diberikan kepada Allah berupa korban mati. Umat datang beribadah kepada Allah dengan mempersembahkan binatang yang dikorbankan dalam upacara pengorbanan (Im. 1). Darah korban tersebut akan dikucurkan di atas mezbah oleh seorang imam besar (Im. 3:5) dengan tujuan untuk mendapat perkenanan Allah.
Paulus menyerukan sesuatu yang berbeda dari konsep PL. Dia menasihatkan supaya kita mempersembahkan tubuh sebagai “persembahan yang hidup”. Apa makna dari mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup? Jika sebelumnya anggota-anggota tubuh kita dipergunakan untuk melakukan dosa, maka kini kita harus mempersembahkannya untuk melayani Allah. John Stott menggambarkannya seperti ini, “Kaki kita berjalan di jalan-Nya, bibir kita mengatakan kebenaran dan menyebarkan Injil, lidah kita membawa penyembuhan, tangan kita terulur bagi mereka yang telah terjatuh, dan juga melakukan banyak pekerjaan sehari-hari seperti memasak dan membersihkan, mengetik dan memperbaiki; lengan kita memeluk orang yang kesepian dan yang tidak dikasihi, telinga kita mendengarkan tangisan orang yang tertekan, dan mata kita akan memandang kepada Allah dengan rendah hati dan sabar”.[1]
Kesarjanaan kita sebagai persembahan yang hidup
Saya masih ingat ketika akan diwisuda dari sekolah teologi, seorang dosen memberi pesan kepada calon wisudawan/ti, bahwa sekarang, kami akan membawa tiga nama ke mana-mana: diri sendiri, almamater, dan Tuhan. Pesan itu mengingatkan saya, bahwa saya memikul tanggung jawab yang tidak hanya berkaitan dengan diri sendiri, tetapi juga nama almamater saya dan Tuhan yang saya layani. Seberapa sungguh-sungguh saya berkarya dan mengerjakan bagian saya sesuai dengan panggilan dan ilmu saya, sedemikian pula keseriusan saya memandang tiga nama yang saya bawa ke mana-mana.
Ini bukan soal menjaga nama. Ini soal kesadaran akan identitas yang menuntun pada persembahan hidup. Jika kita menyadari betul identitas kita di hadapan Allah dan bagaimana Dia, dalam anugerah-Nya, menempatkan kita di sebuah perguruan tinggi, maka kita akan terus menerus memperbarui komitmen pengorbanan kita kepada Allah setiap hari melalui ilmu yang sudah kita peroleh.
Sarjana Kristen berarti seorang lulusan dari perguruan tinggi yang membawa identitas Kristen, apapun latar belakang disiplin ilmu yang dimilikinya. Jika dia seorang Sarjana Ekonomi, maka dia adalah seorang Kristen dengan ilmu ekonomi yang diharapkan dapat memberi sumbangsih bagi perekonomian bangsa. Jika dia seorang Sarjana Hukum, maka dia adalah seorang Kristen yang dengan ilmu hukum yang diharapkan memberi pengaruh positif bagi hukum di Indonesia, dan lain sebagainya.
Tentu kita tidak sedang mengecilkan orang-orang yang terpanggil secara khusus terjun di bidang yang tampaknya tidak sesuai dengan latar belakang kesarjanaannya. Melalui surat yang dikirimkan Yeremia kepada orang-orang buangan di Babel, Tuhan berfirman: “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yer. 29:7).
Mentalitas seorang sarjana Kristen yang dikenan Tuhan adalah mempersembahkan tubuhnya sebagai persembahan yang hidup demi kesejahteraan kota, bukan kesejahteraan dirinya. Mengapa? Karena kesejahteraan diri didahului oleh kesejahteraan kota. Tidak boleh terbalik. Jika seorang sarjana Kristen berpikir seperti ini, maka konsekuensi logisnya adalah dia seorang sarjana yang tidak hanya berpikir mencari pekerjaan, tetapi berusaha menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain demi kesejahteraan kota.
Hari Sarjana Nasional adalah momentum yang baik bagi para sarjana untuk mengevaluasi kesarjanaannya, meskipun bagi sarjana Kristen, hidup yang berdampak dan berbuah tidak ditentukan pada sebuah hari yang dicanangkan oleh pemerintah. Iman kita kepada Kristus adalah dasar kuat hidup yang berkenan kepada Allah, sebagaimana firman Tuhan dalam Efesus 2:10, “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan di dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang telah dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.”
*
Penulis adalah Staf Siswa Perkantas Sulut
[1] Romans: God’s Good News for the World, 1994: 322 dalam buku PA Memperkenankan Hati Tuhan, h.54