Doni Golo Tauno:
Mengalahkan Ujaran Kebencian

Ujaran kebencian menjadi wabah besar di bangsa ini, terutama dalam kurun waktu 7 tahun terakhir semenjak pilkada DKI Jakarta 2012. Menjelang Pilpres 2019, penyebar ujaran kebencian dari berbagai pihak semakin gencar saling menjatuhkan di arena media sosial; dan yang menyedihkan, isu-isu sensitif seperti agama banyak digunakan untuk menyerang.

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, sebagaimana diberitakan Kompas.com (22/02), mengungkap bahwa media sosial memiliki dua sisi, yakni sisi terang dan sisi gelap. Sisi terangnya apabila media sosial digunakan sebagaimana mestinya. Sebaliknya, pada sisi gelap jika media sosial digunakan sebagai sarana mengkampanyekan kebencian.

Belajar dari kisah Haman
Fenomena ujaran kebencian di media sosial mengingatkan saya akan kisah sakit hati Haman kepada Mordekhai yang tidak mau sujud menyembah kepadanya (Ester 3:5) sehingga membuatnya menyimpan amarah yang besar, bukan hanya kepada Mordekhai, melainkan juga seluruh bangsa Yahudi yang hidup dalam kerajaan Ahasyweros. Haman pun ingin memunahkan mereka (ayat 6).

Hampir setahun Haman menunggu melampiaskan kebenciannya untuk dia sampaikan kepada raja, dan selama dua belas bulan itu juga, rasa benci itu dia pelihara. Tampaknya, dalam setahun itu Haman berhasil memprovokasi pegawai-pegawai istana dan juga orang-orang Persia untuk menghancurkan bangsa Yahudi, hingga akhirnya kebencian yang memuncak itu tersampaikan kepada raja dengan menggunakan strategi licik, “melindungi negara dari ancaman orang asing.” Hasilnya, keluarlah titah raja untuk memunahkan semua orang Yahudi dalam pengawasan dan tanggung jawab Haman sendiri (ayat 10-13).

Menyerukan perdamaian bagi bangsa
Rasa sakit hati kepada pihak lain ataupun oknum tertentu dalam sebuah kompetisi politik memang sangat sulit untuk dilepaskan. Dalam setiap kesempatan, ada banyak cara yang dipikirkan untuk akhirnya menjatuhkan lawan. Pernyataan negatif dan ujaran kebencian terhadap lawan pun bisa jadi pilihan.

Dan sedihnya, bukan hanya orang dewasa, tetapi anak-anak sebagai generasi penerus bangsa pun ikut serta dalam menyuarakan kebencian, sehingga tanpa sadar berkontribusi dalam memecah-belah bangsa ini. Akan lebih disayangkan apabila orang-orang Kristen turut terlibat di dalamnya.

Hari Perdamaian Internasional yang jatuh pada tanggal 21 September bisa menjadi momentum bagi kita untuk menyerukan perdamaian dan kesejahteraan bagi bangsa ini. Kita, orang-orang Kristen, mungkin hanya kaum kecil di bangsa ini. Tetapi, pengajaran Injil Yesus Kristus seharusnya dapat membawa pengaruh besar bagi Indonesia, terutama dalam menciptakan kasih dan kedamaian. Siswa, mahasiswa, dan alumni Kristen yang mengasihi Allah sudah sepatutnya memiliki belas kasihan bagi bangsa ini.

Menutup lubang kebencian dengan kasih
Kisah Haman mengajarkan kepada kita untuk tidak memupuk kebencian sekalipun kita berbeda. Kehadiran kita seharusnya menutup setiap lubang kebencian dengan kasih yang diteladankan Yesus Kristus. Pengajaran paling besar dari Kristus adalah mengasihi. Merespon setiap ujaran kebencian di media sosial dengan respon positif akan memungkinkan ujaran kebencian itu menyusut.

Hal yang sangat mungkin dan harus dilakukan oleh kita adalah menggunakan jari, tangan, dan mulut kita untuk mengucapkan berkat dan berdoa bagi mereka yang masih dibelenggu oleh kebencian, bukannya sibuk membalas setiap ujaran kebencian. Percayalah, bahwa kita yang kecil ini dapat menjadi pembawa damai bagi bangsa yang besar ini dengan menebar cinta dan kasih dari Yesus.

__________________________________
*Penulis adalah Staf Perkantas Poso

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »