Tahun ini, genap 72 tahun usia kemerdekaan Republik Indonesia. Usia yang sudah cukup panjang melewati berbagai tantangan dan ujian sejak Proklamasi dikumandangkan Sukarno-Hatta. Bukanlah hal yang mudah kemerdekaan ini diperoleh. Tidak sedikit pengorbanan para pendahulu yang ikut memperjuangkan kemerdekaaan Indonesia. Para pahlawan tidak memikirkan apa suku atau agama mereka ketika memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Dr. Sam Ratulangi, J. E. Sahetapi, J. B. Sumarlin, dan Radius Prawiro, merupakan sedikit contoh pejuang dan pelopor kemerdekaan yang beragama Kristen. Hanya satu yang menjadi tujuan mereka, yaitu agar bangsa ini terbebas dari belenggu penjajahan.
Namun seiring waktu, fakta-fakta yang ada di atas semakin kontradiktif dengan kondisi masa kini. Saat ini, semakin sering kita mendengar dan melihat kenyataan adanya diskriminasi terkait suku dan agama. Seolah-olah kepemilikan bangsa ini hanyalah milik golongan, suku, dan agama tertentu saja. Dalam posisi kepemimpinan politik pun tak jarang juga kita melihat bahwa faktor agama dijadikan alasan untuk menghambat keterlibatan orang Kristen. Mungkin ketidakadilan itu juga yang memicu menipisnya rasa nasionalisme, khususnya di kalangan Kristen.
Iman Kristen dalam krisis nasionalisme
Akan tetapi, marilah kita merunut kembali konsep kedwiwarganegaraan umat Kristen di Indonesia yang terdapat dalam salah satu tulisan karya J. Leimena, dimana orang Kristen sebagai umat tebusan Allah telah dimateraikan oleh keselamatan melalui karya penebusan Yesus Kristus. Di satu sisi, kita memiliki tanggung jawab sebagai warga kerajaan sorga, karena kewarganegaraan kita adalah warga negara sorga seperti tercantum dalam Alkitab.
Namun di sisi lain, kita juga diberikan tanggung jawab oleh Tuhan dengan identitas sebagai warga negara Indonesia (dual citizenship), sehingga kita juga memiliki tanggung jawab besar bagi bangsa ini. Dengan demikian, ketidakadilan yang sering kita alami, tidak lantas kita jadikan alasan untuk menipiskan nasionalisme kita sebagai orang Kristen, tetapi kita juga punya tanggung jawab untuk memikirkan bagaimana kita dapat memajukan, memperbaiki, dan membenahi keadaan yang serba tidak adil tersebut.
Panggilan kita sebagai terang dan garam tetaplah menjadi panggilan yang utama di tengah bangsa ini. Tugas untuk menghadirkan kerajaan-Nya di tengah bangsa ini sangat tepat diwujudkan dengan semangat nasionalisme sebagai bentuk tanggung jawab dan rasa syukur kita atas karunia Tuhan. Tidak mungkin kerajaan Allah dapat diwujudkan tanpa adanya keadilan dan kesejahteraan bersama, namun keadilan dan kesejahteraan itupun tidak dapat terwujud tanpa adanya kecintaan terhadap tanah air.
Nasionalisme bukanlah bagian terpisah dari iman Kristen. Dalam narasi Alkitab, nasionalisme jelas adalah bagian dari kehidupan tokoh-tokoh seperti Daniel, Yusuf , Ester, dan Daud. Maka, kita sebagai umat Tuhan juga perlu mengambil peran di tengah bangsa ini dengan semangat nasionalisme. Inilah wujud nyata tanggung jawab iman kita terhadap kondisi bangsa dan negara dimana Tuhan menempatkan kita. Jangan biarkan ketidakadilan yang ada di sekitar kita mengikis semangat nasionalisme dan kecintaan kita terhadap bangsa ini, melainkan teruslah berkarya dan menjunjung tinggi semangat cinta bangsa itu, dan tetaplah menyatakan buah Roh (Galatia 5: 22-23); bagi kebaikan bangsa kita, dan bagi kemuliaan nama-Nya.