Gnade Natasya Sembiring, S. T.:
Bukan Sekadar “Circle”

Istilah “circle” sering muncul di kalangan Gen Z. Circle ini bukan lingkaran dengan diameter sekian, melainkan lingkaran pertemanan. Circle terbentuk karena anggota di dalamnya merasa memiliki ikatan yang se-frekuensi. Belakangan ini, jarang kita menjumpai siswa dan mahasiswa yang tidak tergabung di sebuah circle. Circle penting bagi mereka dan hal itu ditunjukkan dengan cara nongkrong bareng, belajar bareng, atau mungkin curhat-curhatan yang kini jadi kebutuhan generasi ini.

Abraham Maslow, pencetus Teori Hierarki Kebutuhan, mengungkapkan bahwa seorang individu haruslah memenuhi kebutuhan mereka. Dari lima tingkatan kebutuhan dalam teori tersebut, salah satunya adalah aspek sosial masyarakat. Contohnya dalam keseharian berupa kebutuhan manusia akan cinta, kasih sayang, dan hak kepemilikan terhadap suatu hal.

Kehadiran circle memang penting bagi anak muda zaman ini, tapi ada kekurangan yang tampak, yaitu tidak semua circle menawarkan relasi yang membangun dan bersahabat. Tak dipungkiri kehadiran circle hanya bertujuan untuk have fun dan meredam rasa sepi mereka. Namun, tidak menyentuh aspek kasih yang dibutuhkan.

Setiap orang memiliki kebutuhan akan relasi yang dalam. Mereka butuh wadah untuk tampil autentik, diterima, dan dikasihi. Kebutuhan ini salah satunya dapat dipenuhi oleh sebuah relasi persahabatan. Dalam persahabatan orang di dalamnya tidak perlu tampil perfect, bisa tampil apa adanya dan menjadi wadah yang saling mendukung dan memberi nasihat. Mereka adalah orang yang selalu ada.

Perkantas memiliki fokus melayani kaum muda yang rindu menghadirkan persahabatan di dalam persekutuan. Apalagi dengan core business pemuridan, bagaimana Perkantas menghadirkan ‘circle-circle rohani’ yang lebih daripada circle mereka di sekolah maupun kampus?

Pemuridan Persahabatan: Menerima dan Menolong Sesama

Pemuridan dan persahabatan seharusnya merupakan dua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Pemuridan membawa orang yang kita layani untuk berjuang menjadi murid Kristus. Persahabatan menerima orang yang kita layani bagaimanapun kondisinya yang dialaminya. Jadi, pemuridan persahabatan berarti menerima orang yang kita layani apapun kondisinya saat ini, tetapi tidak berdiam diri dengan keadaan spiritualitasnya. Dalam pemuridan baik sebagai pemimpin rohani maupun sahabat bersedia menolong sesamanya sehingga mengalami pertobatan dan menjadi murid Kristus yang sejati.

Tentu hal ini tidak mudah dalam praktiknya. Mengapa pemuridan sulit dilakukan ketika diperhadapkan dengan konteks persahabatan? Karena setiap orang di dalam wadah pemuridan pastinya terdiri dari kumpulan manusia berdosa. Ada suatu ‘barrier’ yang dipasang agar tidak terluka. Mereka sadar butuh wadah, tetapi memilih tidak terbuka karena takut untuk dihakimi dan ditolak. Kita senang mendengar kata ‘murid’, namun sesungguhnya tidak siap menjadi murid.


Teladan Yesus: Sahabat bagi Para Pendosa

Seperti halnya ketika Yesus berhadapan dengan seorang Lewi (Markus 2:13-17). Beberapa pemimpin agama terkejut dengan apa yang Yesus lakukan. Bagaimana mungkin Ia bisa bergaul dengan seorang pemungut cukai! Pekerjaan yang dibenci banyak orang karena mereka jahat, merampas hak orang lain, dan suka menindas. “Mengapa Dia makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?” (ay.16). Lebih mengejutkannya lagi, Yesus memanggil orang Lewi ini menjadi murid-Nya. Yesus menjadi sahabat bagi para pendosa dan berkata, “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (ay.17).

Tuhan bisa memanggil orang yang baik untuk menjadi murid-Nya dan Tuhan juga bisa memanggil orang yang “jahat”, yang moralnya hancur, untuk menjadi murid-Nya. Namun Yesus, dalam anugerah-Nya memanggil orang yang jahat, seperti orang Lewi ini, menjadi murid-Nya. Demikian juga Yesus memberikan diri-Nya menjadi korban penebusan dosa bagi umat manusia. Ia memberikan nyawa bagi sahabat-sahabat-Nya. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13).

Pemuridan Berbasis Persahabatan

Di dalam keberdosaan kita, setiap orang di dalam kelompok pemuridan pun masih akan terus berjuang untuk melawan kedagingannya. Pemuridan menjadi wadah bagi kamu dan saya untuk bisa saling mendoakan, saling menopang, dan saling mengasihi. “ . . . yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat . . . “ (Roma 15:1).

Jim Putman dan Bobby Harrington dalam Discipleshift menuliskan, “Lebih dari sekadar kelas dan khotbah, pemuridan harus didasarkan pada persahabatan dan waktu bersama. Untuk menumbuhkan murid seperti yang Yesus lakukan, kita harus mengubah paradigma kita dari aktivitas dan relasi permukaan menjadi hubungan yang mendalam dan akuntabel.”

Penutup

Bagaimana dengan kehidupan pemuridan kita? Apakah kita sedang menutup pintu rapat-rapat ketika mereka mengakui segala dosa dan kesalahannya?

Kiranya Tuhan memampukan kita mengerjakan panggilan pemuridan. Kita menjadi sahabat perjalanan bagi jiwa yang Dia percayakan. Soli Deo Gloria!


Penulis adalah Staf Pelayanan Mahasiswa Perkantas Bandung

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Translate »