“Pada suatu kali Yesus sedang mengajar dalam salah satu rumah ibadat pada hari Sabat. Di situ ada seorang perempuan yang telah delapan belas tahun dirasuk roh sehingga ia sakit sampai bungkuk punggungnya dan tidak dapat berdiri lagi dengan tegak. Ketika Yesus melihat perempuan itu, Ia memanggil dia dan berkata kepadanya: ”Hai ibu, penyakitmu telah sembuh.” Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas perempuan itu, dan seketika itu juga berdirilah perempuan itu, dan memuliakan Allah. Tetapi kepala rumah ibadat gusar karena Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat, lalu ia berkata kepada orang banyak: ”Ada enam hari untuk bekerja. Karena itu datanglah pada salah satu hari itu untuk disembuhkan dan jangan pada hari Sabat.” Tetapi Tuhan menjawab dia, kata-Nya: ”Hai orang-orang munafik, bukankah setiap orang di antaramu melepaskan lembunya atau keledainya pada hari Sabat dari kandangnya dan membawanya ke tempat minuman? Bukankah perempuan ini, yang sudah delapan belas tahun diikat oleh Iblis, harus dilepaskan dari ikatannya itu, karena ia adalah keturunan Abraham?” Dan waktu Ia berkata demikian, semua lawan-Nya merasa malu dan semua orang banyak bersukacita karena segala perkara mulia, yang telah dilakukan-Nya.”
(Lukas 13:10-17)
Saudara, kalau kita lihat kehidupan kita ketika anak-anak, biasanya anak-anak itu butuh aturan yang sifatnya tegas, mana yang boleh dan mana yang tidak. Karena biasanya aturan tentu ditujukan supaya kita aman, kita terlindungi. Misalnya, anak-anak kecil pasti dilarang main pisau, anak kecil tidak boleh keluar rumah sendiri, tidak boleh pulang malam, dst. Kenapa seperti itu? Karena memang itu tujuannya untuk melindungi.
Tapi seiring berjalannya waktu, seiring dengan bertambahnya kedewasaan seseorang, maka kita akan belajar keluar dari sekedar ini boleh atau tidak boleh, tapi kita masuk ke fase selanjutnya, yaitu fase pemaknaan. “Kenapa saya tidak boleh main pisau?” Misalnya; atau, “Kapan saya boleh pakai pisau?” Atau, “Kapan saya boleh keluar rumah sendiri?” “Kapan saya bisa pulang malam?” Misalnya, kalau sudah SMA, boleh pulang terlambat karena harus mengerjakan tugas sekolah.
Artinya ada satu fase di dalam hidup kita, dalam perjalanan hidup kita ketika kita semakin dewasa, maka kita tidak lagi terjebak kepada isu ini boleh atau tidak. Tapi kita masuk ke fase selanjutnya, yakni kenapa sesuatu itu boleh? Kenapa sebuah aturan itu ada? Ini artinya kita masuk ke fase pemaknaan.
Ritual yang kehilangan makna
Perikop di atas merupakan kisah yang menarik, karena Yesus seperti mengkonfrontir kepala rumah ibadat. Sebagai seorang kepala rumah ibadat Yahudi, tentu dia punya sebuah kewajiban untuk memastikan bahwa aturan-aturan di dalam hukum Taurat atau di dalam tradisi Taurat, dia kepala rumah ibadat harus terlaksana dengan tepat. Itu memang secara wajar, apalagi sebagai kepala rumah ibadat, pasti dia berusaha untuk semuanya harus sempurna, sesempurna mungkin.
Nah, tapi ada sebuah problem di sini, yang Yesus lihat sebagai sebuah cara berpikir yang keliru; ketika Yesus menyembuhkan seorang perempuan yang sudah 18 tahun dirasuk oleh roh jahat, si kepala rumah ibadah justru mempermasalahkannya karena itu dilakukan pada hari Sabat. Dan saya yakin Yesus memang sengaja untuk melakukannya di tempat itu, di sekitar rumah ibadat dan pada hari Sabat.
Untuk apa Yesus melakukannya? Untuk mengusik cara pandang orang-orang Yahudi, orang-orang Farisi, termasuk kepala rumah ibadat ini yang bisa jadi terlalu kaku, terlalu kaku pada aturan-aturan ritual peribadatan, tapi kehilangan makna dari aturan-aturan tersebut. Bahkan jauh lebih buruk, yakni menjadi munafik. Di situ, Yesus memberikan sebuah konfrontasi yang menarik ketika Dia seolah-olah berkata, “Kenapa saya jadi salah ketika menyembuhkan perempuan ini di hari Sabat? Sedangkan kamu loh, kalau pas hari Sabat kamu pergi bawa lembumu, bawa keledaimu untuk dikasih minum.”
Yesus mengatakan kepala rumah ibadat ini munafik karena hanya terfokus kepada sebuah aturan itu boleh atau tidak, harus atau tidak, tapi kehilangan makna, bahkan kehilangan kasih. Kehilangan kasih ketika ada seseorang yang membutuhkan pertolongan dan dengan alasan ritual dan aturan, akhirnya kasih itu tidak bisa disampaikan, bahkan disalahkan. Yesus mengatakan sikap seperti ini munafik.
Jangan abaikan belas kasihan
Dalam bagian firman Tuhan yang lain, misalnya Matius 23:23 Yesus berkata,
“Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan.”
Kita di dalam pelayanan Perkantas misalnya, bisa jadi kita terjebak hal serupa. Kita mungkin paham, bahwa melayani itu harus dengan totalitas, harus dengan betul-betul sungguh-sungguh, betul-betul total, tapi ketika misalnya karena pelayanan yang total dan sibuk itu, orang tua kita sakit dan butuh kehadiran kita untuk merawat, menolong, lalu kita pakai alasan pelayanan untuk akhirnya mengabaikan firman Tuhan yang lain, tentu itu jadi kemunafikan. Itu hal-hal yang terjadi dan tanpa sadar kita bisa terjebak dalam hal-hal seperti itu.
Atau bisa jadi misalnya persepsi kita, kita mungkin punya kecenderungan melihat misalnya seorang mahasiswa yang merokok, mungkin kita mengasumsikan dia anak yang tidak baik-baik, mungkin ada orang lain juga yang mengasumsikan seperti itu, tapi orang ini pun sama-sama di diam-diam di dalam kamar yang nonton film porno, jatuh dalam dosa-dosa seksual, tapi tidak kelihatan. Kemunafikan, menghakimi yang lain buruk, tapi kita juga diam-diam melakukannya dengan buruk.
Di bagian firman ini ditegaskan, bahwa yang satu penting, tapi yang lain jangan diabaikan. Kalau kita mengabaikan kasih karena sekedar aturan, maka kita menjadi orang-orang munafik seperti yang Yesus katakan di dalam firman ini.
Sebagai murid yang dewasa, penting untuk kita melatih diri kita untuk memahami firman dan teladan Yesus bukan dalam ranah boleh atau tidak lagi, tapi masuk ke dalam esensi kenapa itu boleh dan kenapa itu tidak. Itu jauh lebih penting dalam sistem organisasi, dalam pelayanan. Murid sejati melihat dalam perspektif yang utuh. Amin.
========
*Sumber: YouTube @perkantas