Beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi mencanangkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Hal tersebut dilakukan sebagai apresiasi bagi para santri karena dianggap turut berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kata “santri” menurut KBBI adalah orang yang mendalami ajaran (agama Islam); orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; orang yang saleh. Para santri ini umumnya belajar di pesantren dan tinggal di sana sampai mereka menamatkan bidang ilmu yang dipelajari. Secara etimologis, santri dikatakan berasal dari bahasa Sansekerta, “shastri“, yang akar katanya memiliki kesamaan dengan “sastra”, yang berarti kitab suci, agama, dan pengetahuan. Ada pula yang menyebut bahwa ia berasal dari kata “cantrik”, sebutan bagi pembantu para begawan atau resi.
Panggilan menjadi santri
Pada praktiknya, kesantrian bukanlah hal yang baru. Dua ribu tahun yang lalu, Seorang dari Nazaret berjalan menyusuri tepian danau Galilea dan menemui beberapa nelayan di sana. Ia berkata kepada para nelayan itu, “Mari, ikutlah Aku…” (Mrk 1:17). Begitu pula ketika melihat seorang pegawai cukai yang sedang duduk di rumah cukai, Ia pun berkata, “Ikutlah Aku” (Mrk. 2:14). Pada zaman itu, para filsuf Yunani dan rabi Yahudi sudah lazim mengerjakan praktik semacam ini. Mereka biasa mengumpulkan sejumlah orang untuk selalu bersama atau berada di sekitarnya untuk mendengarkan ajaran. Dalam keadaan tertentu, salah satu atau beberapa orang di antara mereka akan dibimbing secara khusus (dikader) sebagai penerus.
Yang menjadi pertanyaan adalah, mengapa Ia berkata kepada orang-orang itu untuk mengikutNya? Bukankah Ia datang untuk menyelamatkan manusia? Bukankah Ia lebih baik mengatakan, “Maukah engkau selamat (masuk surga)?” sehingga mungkin lebih mudah untuk mendapatkan orang yang mau menerima ajakan-Nya itu?
Setiap orang percaya dipanggil untuk mengikut Dia, bukan sekedar percaya kepada-Nya sebagai pemberi keselamatan. Dengan kata lain, setiap orang percaya dipanggil untuk menjadi murid—untuk menjadi santri-Nya. Orang-orang yang sudah ditemui secara pribadi oleh Guru Agung itu kemudian “nyantri” kepada-Nya selama kurang lebih tiga tahun dengan meninggalkan apa yang mereka miliki termasuk keluarga untuk hidup bersama dengan Dia. Untuk apa? Untuk belajar dan diajar. Di mana? Di “pesantren kehidupan” yang Ia ciptakan dan kerjakan (Bdk. Luk. 9:57-58).
Tantangan seorang santri
Kekristenan tanpa pemuridan adalah Kekristenan tanpa Kristus, demikian kata Dietrich Bonhoeffer (Dr. Bil Hull, Choose The Life: Exploring a Faith that Embraces Discipleship). Tragisnya, Michael Horton justru menyebut Kekristenan abad ke-21 ini marak dengan “Kekristenan tanpa Kristus.” Betapa tidak, ia mengamati kualitas yang dipertontonkan sebagian orang yang menyebut diri Kristen, kemudian yang ia temukan adalah Kekristenan tanpa kebenaran, pengakuan iman tanpa penerapan, dan ibadah tanpa esensi, begitu mewarnai Kekristenan dewasa ini.
Orang Kristen harus mempunyai kualitas. Rasul Paulus menuliskan, “Sebab semua orang yang dipilihNya dari semula, mereka juga ditentukanNya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya…” (Roma 8:29). Menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya menjadi mustahil dicapai kalau tidak mau hidup bersama dengan Dia. Itulah sebabnya, orang percaya harus nyantri supaya mengalami perubahan hidup yang semakin berkualitas seperti Sang Guru (serupa dengan gambaran-Nya). Max Lucado menangkap prinsip ini, sehingga dalam bukunya yang berjudul “Just Like Jesus,” ia menuliskan, “Tuhan mengasihi kita apa adanya, tetapi Dia tidak membiarkan kita seadanya. Dia akan mengubah kita menjadi seperti Kristus.” Mengerjakan semuanya itu tentu bukan hal yang mudah. Maka tidaklah mengherankan apabila Sang Guru dari awal mengingatkan supaya berpikir baik-baik terlebih dahulu sebelum memutuskan mengikut Dia (Bdk. Luk. 14:25-32).
Sebagai langkah awal, kita sebagai “santri Kristus” bisa meneladani apa yang sudah dikerjakan oleh Si Nelayan dan Si Pemungut Cukai, yaitu meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Dia (Luk. 5:11, 28). Harga kemuridan sejati adalah mengorbankan semua hubungan dan harta milik, yaitu segala sesuatu yang dimiliki seseorang: barang (materi), keluarga, kehidupan nyaman, cita-cita, rencana, bahkan kepentingan diri sendiri, seperti perkataan Yesus yang dicatat oleh Lukas (Luk. 14:25-26, 33). Pengertian dari perkataan Yesus ini adalah bahwa seseorang yang sudah dipanggil untuk mengikutiNya tidak perlu khawatir dan terus memikirkan keluarga maupun kebutuhannya. Pengertian ini juga jangan diartikan sebagai keharusan membuang semua yang dimiliki, melainkan segala yang dimiliki harus diserahkan untuk melayani Dia dan berada di bawah tuntunanNya. Hal ini wajib, sebab keengganan untuk melepaskan diri dari segala yang dimiliki membuat seseorang tidak dapat menjadi santri-Nya (Luk. 14:33), seperti yang dialami pemuda kaya yang semula berhasrat mengikut Kristus, namun tidak mau melepaskan hartanya, lalu memilih pergi meninggalkan Dia (lih. Luk. 18:22-23).
Langkah berikutnya tidak kalah sulit. Lukas mencatat apa yang dikatakan Gurunya, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku” (Luk 9.23). Menyangkal diri berarti tidak hidup untuk diri sendiri atau demi kesenangan diri sendiri. Hidup adalah untuk Kristus (Fil. 1:21) karena Kristus sudah mati dan sekarang hidup dalam diri orang percaya (Gal. 2:20). Banyak orang tidak mau mati untuk Yesus, padahal Ia sudah mati buat mereka. Tapi ironisnya, banyak orang mau mati demi kesenangannya sendiri. Memikul salib berarti menderita karena taat kepada Kristus. Banyak kesaksian yang mengungkapkan betapa berat dan menderitanya orang percaya yang hidup di dunia ini, karena tiap kali harus menghadapi manusia gelap hati dan sistem yang juga gelap. Semakin jelaslah bahwa menjadi santri Kristus bukanlah hal yang mudah karena banyak tantangan berat yang akan dihadapi.
Santri Kristus yang sejati
Sang Guru pernah mengatakan beberapa hal tentang apa saja yang harus dikerjakan agar seseorang dapat benar-benar disebut sebagai santri-Nya. Rasul Yohanes mencatat dengan jelas tentang hal tersebut. Yang pertama, Gurunya mengatakan, “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, maka kamu benar-benar adalah murid-Ku” (Yoh. 8:31). Hal ini dikatakan kepada orang Yahudi yang percaya kepada perkataan-Nya (Yoh. 8:30). Syarat ini mutlak bagi mereka yang mengaku santri Kristus, sebab kalau tidak, mereka akan berubah 180 derajat menjadi penyangkal atau pemberontak. Orang Yahudi yang percaya dalam Injil Yohanes pasal 8 ini sekalipun mula-mula bersikap positif terhadap Tuhan Yesus dan ajaran-Nya, tetapi setelah mendengar ajaran Yesus selanjutnya, berubah sikapnya menjadi semakin buruk, dan klimaksnya, mereka mengambil batu untuk merajam Dia (Yoh. 8:59). Santri Kristus zaman sekarang mungkin tidak akan melempari Sang Guru dengan batu secara harfiah, namun ia mungkin melakukannya melalui tingkah laku yang tidak taat atau memberontak, mencemarkan nama Sang Guru di lingkungannya.
Berikutnya, “rasul kasih” itu juga mencatat bahwa semua orang akan tahu bahwa seseorang itu murid Kristus jikalau saling mengasihi (Yoh. 13:35). Dengan kasih yang bagaimana Kristus mengasihi para santri-Nya? Ia mengasihi dengan kasih yang tidak egois, rela berkorban, berpengertian, mengampuni. Ia mengasihi dengan kasih yang praktis, bukan teoritis. Praktik kasih ini dikerjakan dalam seluruh bagian kehidupan termasuk dalam komunitas, misalnya, keluarga. Hasilnya, orang lain, baik secara pribadi atau komunitas, akan melihat sebuah komunitas alternatif yang berbeda dengan komunitas dunia, yaitu komunitas yang saling mengasihi karena ada Tuhan di dalamnya.
Terakhir, rasul Yohanes juga mencatat tentang buah yang harus dihasilkan oleh mereka yang menyebut dirinya seorang murid. “Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku” Yoh. 15:8). Dalam perikop “pokok anggur yang benar” ada satu hal penting yang harus senantiasa kita sadari, yakni betapa mutlaknya Kristus dan persekutuan (menyatu) dengan-Nya. Maka, berhati-hatilah dengan Kekristenan atau persektuan yang tanpa Kristus, karena pasti tidak akan bisa berbuat apa-apa dan akhirnya mati (Yoh. 15:5). Hidup harus mampu menghasilkan buah, yaitu perubahan hidup yang lebih baik dan berkat Tuhan yang dapat dirasakan orang lain.
Pergilah
Dalam pembahasan di awal, sudah dibahas tentang panggilan menjadi santri. Ajakan yang digunakan Sang Guru adalah “Ikutlah”. Lawan kata dari “ikutlah” adalah “pergilah”. Namun uniknya, kedua kata ini digunakan olehNya. Ketika Tuhan datang pada murid-murid dalam perjumpaan yang pertama, mereka secara spesifik dipanggil terlebih dahulu untuk mengikut Dia, yaitu supaya mereka dapat melihat, mendengar, dan belajar dari Pribadi yang memanggil mereka. Setelah tiba saatnya, maka para santri ini diutus-Nya. Ia mengatakan, “Pergilah.” Kata “pergi” di sini tidak lantas dapat dikerjakan sama persis seperti santri-Nya yang mula-mula (bdk. Kis. 1:8). Setiap santri-Nya masa kini akan mengerjakannya dengan cara yang berbeda sesuai dengan panggilan khusus yang ditunjukkan Sang Guru.
Selamat menikmati kesantrian di dalam dan bersama Tuhan. Kiranya kita terus mengikutNya dengan setia dan senantiasa memiliki hati yang rendah untuk belajar dariNya. Segala kemuliaan hanya bagi Dia, Sang Guru Agung kita.
=========
*Penulis adalah Staf Mahasiswa Perkantas Semarang