Setiap kali melihat mahasiswa-mahasiswa di Singaraja, saya mengingat seseorang di benak saya. Saya mengingat bagaimana Tuhan sungguh mengubah hati orang itu, hati yang begitu keras dan cenderung menolak Tuhan. Saya mengingat saat orang itu merasa bahwa hidup ini hanya sekali dan dia berhak melakukan apa saja yang yang disukainya. Saya mengingat bagaimana ia begitu congkak dengan hal-hal yang dibanggakannya. Saya mengingat seseorang yang merasa bahwa dirinya tidak perlu Tuhan dan bisa melakukan semuanya sendiri. Sampai suatu ketika, semua orang menyaksikan bagaimana orang itu menyadari, betapa segala hal yang dia bangakan, segala hal yang dia miliki, segala hal—ya, segala hal—adalah sampah. Dan ironisnya, orang itu adalah saya.
Hasrat seorang anak muda untuk mendapatkan pekerjaan yang baik di salah satu BUMN dengan gaji yang lebih dari cukup setelah lulus kuliah adalah hal yang wajar dan sangat logis. Tetapi, siapa yang tahu bagaimana Tuhan akan memimpin jalan hidup seseorang? Paulus tidak pernah meminta menjadi buta dan berbalik melayani Tuhan, padahal ia seorang penganiaya pengikut Tuhan. Seperti itulah hidup ini seharusnya, yakni hidup dimana ketaatan bukan sekadar menjadi prioritas apalagi salah satu opsi, melainkan satu-satunya pilihan.
Ketika melihat pelayanan mahasiswa di Singaraja, saya seperti melihat surga kecil yang Tuhan izinkan saya nikmati. Ya, mulanya dari perjalanan anak muda sok kuat semester 4 dari Denpasar ke Singaraja. Kalau dilihat di aplikasi peta, itu jarak yang hanya dilewati sekitar 2-3 jam, tergantung hiruk-pikuk jalanan Bali. Namun, perjalanan yang bagi sebagian orang singkat itu melewati gunung dan lembah, dihiasi pemandangan hutan dan pedesaan yang sepi. Tidak jarang pula jika pulang cukup malam dari Singaraja ke Denpasar, saya disuguhi oleh hujan dengan bebatuan yang menghiasi jalanan dan kabut yang pekat.
Sebagian besar mahasiswa yang dilayani di Singaraja adalah calon guru. Memperkenalkan visi Tuhan bagi profesi mereka adalah hal yang sangat serius. Bagaimana tidak, di tangan mereka lah calon-calon pemimpin masa depan akan dibentuk. Betapa strategisnya pelayanan mereka ke depan jika mereka sungguh-sungguh memberi diri bagi Tuhan. Bagi saya, tidak ada yang lebih indah daripada mendapati bahwa bahkan setelah saya telah meninggalkan dunia ini, ada warisan-warisan iman. Ada kisah Tuhan dalam cerita hidup mereka untuk membawa setiap orang, setiap murid mereka kelak, kepada Tuhan.
Pelayanan ini ada bukan karena siapa orang yang memberi diri. Pelayanan ini ada bukan karena berapa banyak uang yang dimiliki. Satu-satunya pelayanan ini ada, adalah karena Tuhan yang memberikan pelayanan ini dan kiranya ini dapat terus diingat, bahwa pelayanan ini milik Tuhan. Jika pelayanan ini milik Tuhan, maka siapa saya? Saya hanya manusia yang bahkan saya merasa tidak layak jika harus menyebut diri sebagai alat-Nya. Tetapi, penting bagi saya untuk terus mengingat hal ini, bahwa tanpa Tuhan, semua sia-sia. Kegiatan yang besar, kesibukan yang tidak berujung, nama yang besar, dan segala hal, tidaklah ada artinya tanpa Tuhan di sana. Maka terus berpaut kepada Tuhan dan terus mengkonsultasikan segala hal kepada Tuhan adalah hal yang mutlak.
Doakan pelayanan kami yang mungkin sangat jarang terdengar. Kami bersyukur dapat berbagi kisah kami. Doakan kiranya kami terus Tuhan berikan kekuatan dan hikmat di dalam mengerjakan segala hal di masa-masa pandemi. Ini bukan hal yang mudah. Sebagian kami frustasi meresponi hal ini dengan tepat supaya tidak menghalangi pelayanan. Doakan semua PMK yang ada, baik PMK Kota Singaraja, maupun PMK kampus, agar memenuhi setiap tugas dan tanggung jawabnya, serta bergerak dalam satu langkah mengerjakan visi yang sama. Kiranya Tuhan Yesus Kristus memberkati dan menolong setiap kita.