Lebih dari Pahlawan

Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.
(Amsal 16:32)

Dalam dunia balap sepeda, nama Lance Armstrong tadinya adalah legenda. Bagaimana tidak, ia menjuarai “Tour de France”, sebuah perhelatan balap sepeda paling bergengsi di dunia, selama tujuh kali berturut-turut (1998-2005). Namun demikian, di kemudian hari terungkap, bahwa ternyata ia menggunakan obat-obatan yang dilarang untuk menggenjot staminanya. Alhasil, ketujuh gelar itu dirampas darinya, dan ia juga harus mengembalikan uang bonus yang diterimanya. Dalam penampilannya di Oprah Show, Armstrong mengakui bahwa kisah suksesnya hanyalah sebuah kebohongan yang besar, oleh karena ambisi dan dorongan untuk mendapatkan hasil yang ia inginkan.

Sebuah artikel di Forbes.com menjuluki Lance Armstrong sebagai “fallen hero”, alias “pahlawan yang tumbang”. Penulis artikel tersebut memberikan komentar yang menggambarkan kemanusiaan kita, “Adalah mudah untuk melakukan hal yang benar ketika itu tidak merugikan atau menimbulkan ketidaknyamanan secara signifikan.” Ketaatan memang mudah dilakukan ketika tidak ada yang dipertaruhkan, dan inilah yang menyebabkan banyak “pahlawan” seperti Lance Armstrong bertumbangan.

Pahlawan Israel, Daud bin Isai, juga tak luput dari kejatuhan ini, yakni ketika ia begitu menginginkan tubuh Batsyeba, berzinah dengannya, dan berkonspirasi untuk memastikan kematian suaminya. Raja Daud bahkan tak sanggup untuk menahan diri dari fantasi kenikmatan seksualnya dengan wanita yang bukan isterinya–bahkan ia takkan kehilangan apapun yang signifikan apabila memilih untuk taat! Ironisnya, justru di dalam kesesakan ketika dikejar-kejar oleh Saul, Daud menunjukkan kesabaran yang luar biasa untuk tidak membunuh Si Raja dan merebut tahta, meski memiliki momen-momen yang seolah-olah–meminjam istilah Prof. Yohanes Surya–mestakung (semesta mendukung). Ketika dikejar-kejar, Daud terbukti sabar; namun, ketika di istana, ia tak sanggup menguasai dirinya.

Jika orang-orang hebat itu tak sanggup menahan diri dan jatuh tergelincir dalam dosa, lantas bagaimana dengan kita? Puji syukur kepada Allah, kita memiliki Imam Besar yang menanggung segala kelemahan kita, yang telah memberikan teladan ketaatan bagi kita. Tak ada yang kehilangan sesuatu yang signifikan oleh karena ketaatannya lebih daripada Yesus Kristus. Tak ada teriakan kehilangan yang lebih pilu daripada teriakan Anak Manusia di Golgota, “Eli, Eli, lama sabakhtani?”

Bagaimana dengan kita? Di tengah-tengah kondisi yang tak menentu ini, apakah kita akan tetap sabar bertahan dalam ketaatan? Sebaliknya, di dalam kondisi yang nyaman, akankah kita tetap dapat menguasai diri? Apakah kita sanggup melepaskan segala kenyamanan dan keamanan hidup kita demi ketaatan kita kepada firman Tuhan? Atau jangan-jangan, kita berupaya untuk “menambah sehasta saja pada jalan hidup” karena merasa jawaban doa tak kunjung tiba? Kiranya kita disanggupkan oleh Roh-Nya untuk menjadi anak-anak Tuhan yang lebih dari pahlawan, dan lebih dari perebut kota. Amin.


*Penulis adalah Staf Divisi Media Perkantas

Exit mobile version