Belajar dari Sang Guru

Sebagian orang percaya memiliki anggapan yang berbeda tentang kesungguhan kehidupan rohani.  Ada yang menganggap kesungguhan hidup rohani ditentukan oleh hidup devosi, sementara yang lain ditentukan oleh aksi. Akan tetapi ada juga yang menyatakan keduanya harus dijaga keseimbangan.

Bagaimana kita seharusnya menjalani kehidupan rohani kita? Mari kita mengingat kembali bagaimana Sang Guru, Yesus Kristus, menjalani kehidupannya selama di dunia ini.

 

Identitas-Nya ditentukan oleh Bapa-Nya

Sebelum Yesus tampil ke dunia, Ia terlebih dulu menyerahkan diri untuk dibaptis. Baptisan ini memiliki beberapa arti. Pertama, sebagai penyerahan diri untuk melakukan kehendak Bapa. Kedua, menyatakan kesediaan Yesus untuk menjadi sama dengan manusia yang dilayaniNya. Dan berikutnya, Baptisan ini juga merupakan penahbisan dari Bapa bagi tugas yang Yesus emban.

Penahbisan ini bukan hanya menjadi peresmian dimulainya pelayanan Yesus, akan tetapi memberi pondasi bagi kehidupan dan pelayanan Yesus. Bapa memberi pengakuan tentang siapa Yesus bagiNya,“Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan” ( Luk 3: 22 ). Yesus mendengar Bapa mengakui Dia adalah Anak Bapa. Kedudukan Anak Allah adalah kedudukan tertinggi, termulia, dan terbesar. Tidak ada kedudukan lain yang diperlukan Yesus di dunia ini. Sebagai Anak Bapa, maka Dia juga mendapatkan pemeliharaan dari Bapa. Pemeliharaan dari Bapa pastilah cukup dan karenanya tidak perlu bergantung kepada siapapun.

Berikutnya, Yesus mendengar Bapa mengasihiNya. Kasih Bapa sempurna. Kasih itu menyediakan pemenuhan kebutuhan kasih sayang dan menyediakan segala yang diperlukannya. Dengan mengalami kasih Bapa, Yesus tidak perlu lagi menuntut kasih dari orang. Pernyataan terakhir yang Bapa sampaikan adalah bahwa Ia berkenan kepada Yesus. Yesus mendapat penghargaan dari Bapa, Pribadi paling agung. Tidak akan ada penghargaan yang bisa melampui penghargaan yang diberikan oleh Bapa. Dengan demikian, Yesus juga tidak lagi memerlukan penghargaan dari siapapun.

Pengakuan yang diberikan oleh Bapa kepada Yesus tidak diberikan ketika pelayanan Yesus sudah selesai, tetapi diberikan justru sebelum Yesus belum melakukan apapun. Artinya, pengakuan identitas Yesus sebagai Anak Allah, pribadi yang dikasihi, serta pribadi yang bernilai tidak didapat sebagai hasil pelayanan, melainkan sebagai ANUGERAH dari Bapa.

 

Ia memulai pelayanan-Nya dengan menyediakan waktu yang lama dengan Bapa-Nya

Selesai pembaptisan, Yesus dipimpin oleh Roh Kudus ke padang gurun untuk berpuasa dan berdoa, 40 hari lamanya. Ia tidak serta merta pergi melayani, tetapi Ia perlu lebih dalam tinggal dengan Bapa-Nya. Ia perlu menerima peneguhan pengakuan itu dan perlu mengalami secara nyata bahwa pengakuan Bapa-Mya itu cukup bagiNya.

Dan ternyata dalam masa doa puasa tersebut, Yesus mendapat pengujian tentang identitas-Nya. Iblis menantang Yesus untuk membuktikan ke-AnakAllah-an-Nya. “Jika Engkau Anak Allah….perintahkanlah batu-batu itu menjadi roti.” Dan tantangan berikutnya, “Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diriMu ke bawah…” Namun dalam kesemuanya itu Yesus tidak meresponinya. Yesus tidak perlu membuktikan bahwa diriNya Anak Allah kepada Iblis. Ia tidak peduli apakah Iblis akan mengakuiNya atau tidak, sebab pengakuan itu tidak akan mengubah fakta bahwa Ia adalah Anak Allah. Pengakuan Bapa bahwa Ia adalah Anak Allah sudah cukup.

Pengalaman ini sangat fundamental, sebab kelak Yesus akan menghadapi penolakan, bahkan penghinaan terhadap diri dan pelayanan-Nya. Kalau Ia masih membutuhkan pengakuan tentang siapa diriNya dan tentang apa yang dilakukanNya, maka Ia akan menghadapi kekecewaan. Selain itu, kalau apa yang dilakukan untuk orang lain masih ditentukan penghargaan terhadap dirinya, maka pelayanan-Nya tidak bernilai lagi.

Waktu-waktu dengan Bapa-Nya sangat penting untuk menghadapi tantangan di pelayanan. Karena itu, Ia menyediakan waktu yang lama dengan Bapa sebelum melayani.

 

Ia menyediakan waktu yang lama dengan Bapa di tengah-tengah kesibukan-Nya

Dalam kesibukan pelayanan-Nya, Yesus menyediakan waktu untuk Bapa-Nya. Lukas mencatat ketika begitu banyak orang datang kepadaNya, Ia malah pergi ke tempat-tempat sunyi dan berdoa. (Lukas 5:16). Kalimat ini menunjukkan bahwa Ia sering melakukannya. Hal itu juga dapat dilihat dari beberapa catatan lain. Matius menuliskan setelah peristiwa pemberian makan 5000 orang dengan 5 ketul roti dan 2 ekor ikan, Yesus tinggal sendirian di atas bukit semalaman untuk berdoa.

Demikian juga ketika Yesus akan memilih ke 12 rasul, Ia semalam-malaman berdoa. Yesus pernah membawa 3 murid-Nya untuk berdoa di atas bukit, dimana kemudian Ia bertemu dengan Musa dan Elia. Malam sebelum disalibkan, Yesus menyediakan waktu untuk bergumul tentang kehendak Bapa bagi hidup-Nya, dan setelah selesai maka Ia kemuidan menjalani puncak rencana Bapa bagi diri-Nya.

Waktu dengan Bapa seperti ini membawa Yesus mengalami kekuatan, kesegaran, dan arah yang tetap dalam rencana Bapa. Karena itu tidak mengherankan apabila Yesus sangat mengutamakan waktu-waktu seperti itu. Bahkan kesibukan pelayanan pun Ia tinggalkan untuk bisa sendiri dengan Allah.

 

Ia menyediakan waktu setiap hari dengan Bapa-Nya

Markus 1:35-39 menuliskan bahwa Yesus pagi-pagi benar waktu hari masih gelap pergi ke tempat sunyi untuk berdoa. Sepertinya Yesus biasa melakukan hal itu, sebab ketika murid-murid-Nya bangun dan mencariNya, mereka tahu kemana menemuiNya. Sekalipun malam sebelumnya Ia telah bekerja keras hingga malam, namun Ia tidak meninggalkan kebiasaan untuk bertemu dengan Bapa. Apa yang Ia lakukan pagi itu sangat menolongnya. Ia mendapat pimpinan untuk meneruskan pelayanan penginjilan ke kota-kota lain. Warga Kapernaum yang merasa ditolong pagi itu mencariNya, namun pencarian orang banyak itu tidak membuatnya merasa perlu untuk menyediakan waktu. Ia tunduk kepada pimpinan Bapa dari pada memenuhi permintaan manusia.

Waktu-waktu dengan Bapa bukan sekedar waktu pelengkap bagi Yesus, melainkan waktu-waktu yang diutamakan. Waktu itu menjadi dasar untuk menjalani hidup dan karenanya tidak bisa digantikan oleh pelayanan sekalipun.

 

Hidup-Nya untuk melayani manusia

Saat mulai tampil melayani orang banyak, Ia disambut dengan sangat antusias. Pelayanan-Nya menjawab persoalan-persoalan banyak orang. Karena itu, dimana-mana Ia dikerumuni banyak orang dan Ia melayani mereka sepenuhnya. Markus 1 memberikan contoh bagaimana Ia sangat sibuk melayani orang banyak hingga malam.

Ia mengajar orang banyak, namun perhatian-Nya diarahkan kepada individu-individu. Ia tidak puas karena diikuti orang banyak, namun Ia ingin setiap yang terhilang itu diselamatkan. Karena itu, di tengah banyak orang yang mengerumuniNya, Ia tidak pernah melepaskan perhatian dari pribadi-pribadi. Sebagai contoh di tengah-tengah kerumunan orang banyak, Ia mendengar pengemis buta yang berteriak-teriak memanggilNya. Atau dalam perjalanan yang diikuti oleh banyak orang, Ia memperhatikan Zakheus yang berjuang keras untuk melihatNya.

Dalam pelayanan-Nya mencari yang terhilang, Ia tidak hanya membawa berita injil kepada setiap orang, melainkan juga menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan. Ia menyembuhkan yang sakit, Ia mengusir setan, Ia menghibur janda Nain dengan membangkitkan anaknya yang mati, atau Ia mau menerima undangan ke pesta.

Ia sangat sibuk, bahkan karena saking banyaknya orang yang Ia layani, Ia pernah tidak sempat makan (Markus 6: 31). Pada kesempatan lain, setelah seharian pelayanan, Ia tertidur di perahu, padahal perahu sedang menghadapi badai. Ia sungguh sibuk memberi pelayanan kepada banyak orang. Hidup-Nya sepenuhnya diperuntukkan untuk melayani orang lain.

 

Nasib orang lain menjadi fokus-Nya

Ia datang untuk memberikan keselamatan bagi umat manusia. Untuk itu Ia menderita dan mati. Akan tetapi selama hidup, Ia juga selalu memikirkan nasib orang lain. Salah satu yang nampak jelas ada pada peristiwa penyaliban. Setelah Pilatus memutuskan bahwa Yesus harus disalib, tentara membawa Yesus ke bukit Golgota. Yesus sangat menderita dalam perjalanan itu.

Di antara orang yang banyak yang melihat, terdapat sejumlah perempuan yang terus menangis. Mereka begitu terharu melihat penderitaan Yesus. Akan tetapi ketika Yesus ada di dekat para perempuan itu, Ia berkata, “Jangan tangisi Aku…tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu.” Yesus menunjukkan bahwa yang patut mendapat belas kasihan adalah para perempuan dan anak-anak mereka. Sekalipun Ia sangat menderita, ia lebih memperhatikan orang lain dari diri-Nya sendiri.

Selanjutnya, ketika salib-Nya sudah berdiri, yang segera Ia pikirkan adalah nasib para penyalib-Nya. Karena itu di tengah kesakitan, Ia berdoa kepada Bapa supaya mengampuni dosa mereka. Yang dilukai memperhatikan nasib yang melukai.

Dan sebelum mati, Ia masih memberikan kepastian keselamatan kepada salah satu penjahat yang disalib bersamaNya. Tidak lupa pula Ia memperhatikan Maria, ibu-Nya dan Yohanes, murid-Nya. Ia meminta Yohanes untuk menerima Maria sebagai ibunya dan Maria menerima Yohanes sebagai anaknya.

Karena telah menerima semua yang diperlukan-Nya dari Bapa, Yesus tidak memerlukan lagi perhatian dari orang lain. Ia memperhatikan orang lain sepenuhnya. Bahkan penderitaan yang Ia alami pun tidak membuatNya mengurangi perhatian terhadap orang lain.

 

Bukan membangun pelayanan

Sekalipun melayani banyak orang, tujuan-Nya bukanlah membangun pelayanan. Ia tidak membentuk “Perkumpulan Orang Nazaret“ atau semacamnya, melainkan fokus melayani orang . Karena itu, ketika orang-orang yang dilayani mengundurkan diri, Ia tidak menjadi kecewa atau merasa gagal. Pada tahap tertentu, orang tidak bisa menerima pengajaran-Nya dan mulai mengundurkan diri sehingga hanya tersisa 12 murid. Dalam situasi seperti itu, Yesus malah bertanya kepada mereka, apakah mereka tidak pergi juga.

Hati yang tertuju kepada manusia tidak membuat jumlah manusia yang mengikuti sebagai bukti keberhasilan pelayanan. Pelayanan sama sekali tidak menentukan nilai diri-Nya. Apa yang Ia butuhkan telah diberikan oleh Bapa. Karena itu, pelayanan adalah sepenuhnya melayani, tidak berkaitan dengan apa yang didapat dari pelayanan itu.

 

Melaksanakan agenda Bapa

Di dalam melakukan pelayanan, Yesus mengikuti agenda Bapa. Apa, kemana, kapan, sepenuhnya ditentukan oleh Bapa. Sekalipun Ia melayani manusia, namun bukan manusia yang menentukan pelayanan-Nya.

Contoh pertama bisa kita lihat ketika Ia memulai pelayanan di Kapernaum. Setelah pelayanan yang begitu berhasil dan menolong banyak orang , keesokan harinya Yesus dicari-cari penduduk Kapernaum. Akan tetapi, hasil persekutuan-Nya dengan Bapa jelas menyatakan pelayananNya sudah cukup di Kapernaum dan Ia harus pergi ke tempat lain untuk memberitakan injil. Karena itu, Ia tidak mengikuti kemauan orang banyak, melainkan meneruskan pelayanan di kota-kota lain, sebagaimana yang Bapa tetapkan (Markus 1).

Contoh lain adalah pada waktu Ia memutuskan untuk meninggalkan Galilea dan mulai berjalan ke Yerusalem. Pelayanan di Galilea begitu berhasil, namun karena saat yang ditetapkan Bapa untuk menyelesaikan tugas-Nya di dunia hampir tiba, Ia segera melangkahkan kaki ke Yerusalem (Luk 9:51). Ia tidak mempertahankan pelayanan-Nya yang besar di Galilea, tetapi memilih menuju ke Yerusalem, kota tempat tinggal “para oposan.” Ia mengutamakan penyelesaian tugas-Nya dari pada menikmati kesuksesan pelayanan.

Dalam pelayanan pribadi pun Yesus memperhatikan waktu Bapa. Ketika mendapat kabar bahwa sahabatnya, Lazarus, sakit, Ia malah sengaja mengulur waktu untuk datang ke Betania. Akibatnya, Lazarus mati. Pada saat Ia datang, tentu saja Ia dianggap terlambat, sebagaimana dikatakan Maria, “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati.” Akan tetapi Ia melambatkan waktu kedatangan-Nya justru menunggu hingga Lazarus mati, sehingga dengan demikian Ia bisa menyatakan kuasaNya yang besar dengan membangkitkan Lazarus. Peristiwa kebangkitan Lazarus tentu saja memberikan kesukaan yang sangat besar melebihi kalau Lazarus hanya disembuhkan.

Kehidupan yang menurut agenda Bapa tidak mungkin dilaksanakan Yesus tanpa bersekutu dengan Bapa-Nya. Persekutuan dengan Bapa-Nya membuat Ia mengerti kehendak Bapa atau memberikan bimbingan bagaimana Ia melakukan kehendak Bapa yang telah dinyatakan.

 

Kesimpulan

Kehidupan Yesus bukan kehidupan yang bekerja saja, tetapi jelas adalah kehidupan yang diisi dengan waktu-waktu persekutuan dengan Bapa-Nya. Sebaliknya juga bukan kehidupan yang hanya mengasingkan diri untuk bersekutu dengan Bapa, namun kehidupan yang bekerja untuk orang lain.

Ia tidak juga hanya menjaga keseimbangan antara keduanya, akan tetapi Ia menyadari kepentingan keduanya. Ia bersekutu dengan Bapa-Nya sebab itulah sumber hidup-Nya. Dan karena persekutuan dengan Bapa-Nya itulah Ia kemudian bekerja keras di dunia ini. Tanpa persekutuan dengan Bapa-Nya, maka apa yang ia lakukan tidak ada nilainya. Tetapi tanpa bekerja, persekutuan dengan Bapa juga tidak berarti sebab Ia tidak menjalankan apa yang diinginkan oleh Bapa-Nya.


– Gunawan Sri Haryono adalah Staf Perkantas Surakarta

– Diterbitkan pada majalah Dia edisi 1 tahun 2012

Exit mobile version