Sejarah misi mencatat kesuksesan luar biasa dalam penginjilan di tanah Jawa pada akhir abad ke-19. Pada waktu itu, para penginjil Belanda mengalami hambatan besar dalam memberitakan Injil karena dianggap bagian dari penjajah. Orang Jawa Kristen diolok-olok dengan sebutan, “Landa wurung, Jawa tanggung”, yang berarti “bukan orang Belanda, tapi bukan lagi orang Jawa,” yang mencerminkan stigma negatif, bahwa menjadi Kristen berarti meninggalkan budaya Jawa.
Di tengah situasi tersebut, para penginjil pribumi justru mampu menjangkau banyak sekali orang Jawa dengan Injil. Mereka menggunakan wayang, tembang (lagu langgam jawa), benda pusaka seperti keris, dan kesenian khas Jawa lainnya untuk memberitakan Injil dan mengajar firman Tuhan. Yang paling penting, mereka mampu menunjukkan, bahwa menjadi Kristen tidak berarti meninggalkan budaya Jawa. Seorang pemberita Injil bernama Kyai Sadrach berhasil menjangkau 2.500 orang Jawa hanya dalam waktu tiga tahun saja (1870-1873). Jemaat Kyai Sadrach mencapai angka 7.000 pada tahun 1890 dan 20.000 orang pada saat ia meninggal. Sungguh, pendekatan Injil yang sangat efektif telah dipakai oleh para penginjil pribumi. Suatu gema dari strategi yang disuarakan oleh Rasul Paulus dalam 1 Korintus 9: 19-23.
Dalam perikop ini, Rasul Paulus menyatakan hasratnya untuk memenangkan sebanyak mungkin orang bagi Kristus (Ay. 19, 22). Untuk itu, ia rela “menjadi seperti” orang-orang yang hendak dijangkaunya (20-22). Artinya, Rasul Paulus sebagai pemberita Injil mau berbudaya seperti orang-orang yang hendak dijangkaunya dan menggunakan apa yang ada dalam kebudayaan setempat sebagai pijakan untuk memberitakan Injil. Dengan demikian, Paulus sebagai pemberita Injil lebih mudah diterima kehadirannya dan berita Injil memiliki pintu masuk yang relevan bagi konteks kehidupan sehari-hari orang-orang yang hendak dijangkaunya. Tentu saja, dalam melakukannya, Rasul Paulus menunjukkan batasan yang sangat jelas: tidak melanggar ajaran Tuhan Yesus (21).
Rasul Paulus menerapkan prinsip ini ketika sedang berada di Atena dan berbicara kepada banyak orang di Aeropagus. Dia menemukan adanya altar bagi “dewa yang tidak dikenal” ketika sedang berkeliling kota Atena dan menggunakan kisah tersebut sebagai pijakan untuk menceritakan tentang Yesus Kristus. Alhasil, beritanya menjadi terasa tidak asing bagi para pendengarnya. Kisah tentang Yesus menjadi relevan bagi budaya orang-orang di Atena. Memang, tidak semua yang mendengar menjadi percaya, namun ada yang yang menjadi percaya (lih. Kis. 17: 34).
“Menjadi seperti” adalah strategi pemberitaan Injil yang sangat penting dan tidak lekang oleh waktu, termasuk bagi pelayanan Perkantas. Dalam usia pelayanannya yang hampir setengah abad, Perkantas telah melayani empat generasi yang berbeda: generasi baby boomers, busters, generasi Y, dan generasi Z. Tiap generasi tentunya memiliki karakteristik kebudayaan yang berbeda pula.
Saat ini, generasi siswa-mahasiswa yang sedang dijangkau adalah generasi Z. Dengan demikian, para pekerja di ladang siswa-mahasiswa harus mau “menjadi seperti” generasi Z. Yang pertama harus dilakukan adalah belajar apa dan bagaimana budaya generasi Z: perilaku, nilai hidup, keyakinan, dan cara pandang mereka. Setelah itu, menemukan pintu-pintu masuk budaya yang bisa digunakan untuk mempresentasikan Injil secara relevan bagi mereka. Hal ini bisa berarti menggunakan bentuk ibadah yang berbeda di persekutuan, musik yang berbeda, cara berpakaian yang berbeda, bahkan pola pendalaman Alkitab yang berbeda dari yang digunakan ketika menjangkau generasi Y, busters, apalagi baby boomers. Pertanyaannya adalah, relakah kita “menjadi segala-galanya” demi memenangkan sebanyak mungkin generasi ini? Tuhan memberkati.
Penulis adalah Staf Perkantas Malang