Seseorang dalam situasi yang baru biasanya akan mengalami kondisi yang dikenal dengan istilah “masa krisis.” Kadar krisis tiap orang bisa berbeda-beda. Semakin minim harapan yang dimiliki seseorang dalam menghadapi sesuatu yang baru, semakin besar pula krisis yang ia alami. Memasuki tahun yang baru ini, konon banyak orang yang berpotensi mengalami krisis yang besar dalam hidupnya. Tahun 2016 yang dalam penanggalan Tiongkok memasuki tahun “monyet api” ini bisa jadi merupakan tahun yang berat dan sarat persaingan. MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang mulai berlaku di awal tahun, diakui atau tidak, akan menjadi era yang menakutkan bagi banyak orang.
Yosua sebagaimana dikisahkan dalam Yosua 1:1-18 sangat mungkin sedang menghadapi krisis dalam hidupnya. Dia adalah pembantu yang akrab dan setia bagi Musa selama empat puluh tahun pengembaraan di padang gurun (Kel. 17:8-13; 24:13; 32:17-19; Bil. 13:8,16). Yosua telah sejak lama ditugaskan sebagai pengganti Musa, bahkan ketika Musa masih hidup (Bil. 27:18-23; Ul. 34:9). Sekarang, Allah memanggil dia untuk menuntun umat-Nya memasuki Tanah Perjanjian, sebagaimana yang telah dijanjikanNya kepada Abraham (lih. Kej. 12:6-7; 15:18-21).
Yosua sangat mengerti bagaimana sulitnya memimpin bangsa Israel yang sulit diatur. Pengalaman selama mendampingi Musa cukup bagi Yosua untuk memahami, betapa beratnya memimpin bangsa Israel, bangsa yang tegar tengkuk meski telah melihat perbuatan-perbuatan Tuhan yang ajaib itu. Karena itulah, ketika Allah memanggil dan memerintahkan Yosua secara langsung untuk melanjutkan kepemimpinan Musa atas Israel, hati Yosua begitu gentar. Pengalaman dan pengamatannya atas sejarah Israel di padang gurun tentulah menyulitkannya dalam melihat harapan keberhasilan Israel untuk memasuki Tanah Kanaan.
Di titik inilah, kita melihat bagaimana TUHAN Allah memahami kegentaran dan krisis hidup Yosua. Ungkapan “kuatkan dan tegukanlah hatimu” (Ibr. ḥă·zaq we·’ĕ·māṣ) diulang oleh TUHAN Allah hingga tiga kali (ay. 6, 7, dan 9). Bahkan di ayat 9, TUHAN menegaskan dengan ungkapan, “Janganlah kecut dan tawar hati” (Ibr. ’al-ta·‘ă·rōṣ wə·’al-tê·ḥāṯ;). Pengulangan ungkapan peneguhan dari Allah hingga tiga kali ini mengindikasikan kegentaran dan krisis yang Yosua alami dalam menyambut tongkat estafet kepemimpinan atas Israel.
Peneguhan Allah bukan sebuah peneguhan tanpa dasar, karena TUHAN Allah sendiri berjanji: “Seperti Aku menyertai Musa, demikianlah Aku akan menyertai engkau; Aku tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau” (ay. 5). Perintah dan peneguhan Allah kepada Yosua segera diikuti oleh janji Allah untuk menyertainya, sebagaimana Allah menyertai Musa. Yang menarik adalah, perintah dan peneguhan Allah, “kuatkan dan teguhkanlah hatimu,” kemudian dinyatakan oleh bangsa Israel kepada Yosua (ay. 18).
Dari perikop ini, setidaknya kita belajar dua hal. Pertama, sebagaimana pengalaman Yosua, seringkali Tuhan mengijinkan kita mengalami krisis ketika kita menapak tangga lebih tinggi dalam hidup kita; kedua, keteguhan hati atau iman di tengah krisis hidup hanya bisa kita capai jika kita tetap berpegang pada janji penyertaan Tuhan atas hidup kita.
Memasuki tahun 2016, manakah yang lebih mempengaruhi hidup kita? Tantangan-tantangan hidup yang makin berat, ataukah janji penyertaan Tuhan yang tidak akan pernah meninggalkan hidup kita (Yohanes 14:17-18)?