Widuri Lisu, S. Si::
Mengajar “Mutiara Hitam”

Meski lahir dan tumbuh di dalam keluarga Kristen, Widuri Lisu baru sungguh-sungguh lahir baru dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya ketika duduk di bangku kelas 3 SMP. Gerejanya sedang merintis persekutuan doa pada waktu itu, dimana ia mengingat dosa-dosa yang telah dilakukannya dan menyadari bahwa ia takkan selamat dengan usaha atau perbuatan baiknya sendiri—sebuah konsep yang ia percayai sebelumnya. Sejak saat itulah, hidupnya berubah.

Selepas SMP, Widuri melanjutkan bersekolah di SMA 1 Depok, salah satu sekolah yang dilayani oleh Perkantas Jakarta melalui Tim Pelayanan Siswa Depok. Penyuka warna biru ini pun dilayani dalam kelompok kecil dan menikmati persekutuan-persekutuan besar yang diadakan Persekutuan Siswa Kristen Depok.

Selepas SMA, bungsu dari tiga bersaudara ini diterima masuk di jurusan Matematika FMIPA UI. Di awal kuliah, Widuri agak menjauh dari pelayanan, hingga akhirnya “ditangkap” Tuhan kembali ketika bergabung sebagai panitia Kebaktian Kebangunan Rohani Siswa (KKRS) Jakarta tahun 2012. Kesempatan sebagai panitia KKRS membukakan hati penyuka musik pop ini akan pentingnya pelayanan siswa. Sejak saat itu, ia bergabung ke dalam Tim Pembimbing Siswa hingga lulus kuliah.

Tahun ini adalah tahun ketiga bagi Widuri menjalani panggilannya sebagai seorang guru bagi “mutiara hitam”—sebutan bagi anak-anak asli Papua. Di tahun pertama, ia mengajar dan melayani di sebuah sekolah di daerah Sentul yang didedikasikan bagi anak-anak Papua yang mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di Pulau Jawa. Di tahun berikutnya, penyuka bakso dan es teh manis ini menetapkan hati untuk berangkat ke pulau paling Timur Indonesia dan mengajar di sebuah sekolah di daerah Sentani hingga kini.

Tiga bulan pertama di tanah Papua, guru muda ini sempat mengalami culture shock alias gegar budaya. Syukurlah, Tuhan mengaruniakan rekan-rekan kerja yang takut akan Tuhan dan membantunya untuk beradaptasi di sana. Ia pun bersyukur karena terus mendapatkan kesempatan untuk bertumbuh melalui pelayanan pemuridan di tempat kerjanya.

Para siswa yang keras kepala sebagai hasil dari didikan orang tua yang keras juga menjadi tantangan tersendiri. Tetapi, ia telah membuktikan bagaimana pendidikan yang dikerjakan dengan sepenuh hati akan sanggup mengubah murid yang tampaknya susah diajar. Educating the mind without educating the heart is no education at all, demikian kutipan dari Aristoteles yang disukainya.

Hati Widuri dipenuhi dengan kerinduan yang besar untuk bisa mengajar di pedalaman Papua—bukan di Sentani saja. Ia meyakini, bahwa lokasi mengajarnya saat ini merupakan langkah awal yang diberikan Tuhan untuk ia “cicipi” sebelum pergi mengajar ke pedalaman. Juni 2017, ia berkesempatan menjadi panitia penerimaan siswa baru di pedalaman Korupun dan Nalca, Yahukimo, dan sekalipun melihat tantangan yang besar, kerinduannya tidak memudar. Penyuka film “Narnia” ini meyakini, bahwa semakin besar tantangan yang ada, semakin nyata pula penyertaan Allah dalam menjalani panggilan kita.

Yeremia 29:11 menjadi ayat Alkitab yang dipegangnya selama menjalani panggilan Tuhan. Widuri melihat, bahwa pelayanan Perkantas penting bagi siswa, mahasiswa, dan juga alumni. Itulah yang membuatnya tetap terlibat dalam mendukung pelayanan Perkantas, selain sebagai bentuk ucapan syukur atas pelayanan yang pernah dinikmatinya dulu. Kepada para pembaca, wanita yang hobi membaca ini berpesan bahwa menjadi alumni bukan berarti berhenti menjadi murid, dan kita harus terus memiliki rasa haus untuk dimuridkan dan tunduk pada pimpinan Sang Guru Agung. (ays)

Tinggalkan Balasan

Translate »