Budi Harianto:
Melayani di Tengah Dunia

Allah kita adalah Allah yang bekerja. Ia menciptakan langit dan bumi beserta isinya, memelihara, dan menebus ciptaan-Nya. Bahkan, sampai sekarang pun Ia terus bekerja, seperti yang dikatakan oleh Tuhan Yesus: “Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga” (Yoh. 5:17). Allah menciptakan kita menurut gambar dan rupa-Nya sendiri, termasuk di dalamnya gambar dan rupa-Nya sebagai Pribadi yang bekerja. Dengan demikian, bekerja adalah bagian dari kemanusiaan kita. Tanpa bekerja, kita kehilangan makna hidup kita sebagai manusia.

Allah menempatkan manusia yang diciptakanNya di sebuah taman subur dan kaya yang dialiri oleh empat sungai. Di sana, Ia menumbuhkan berbagai pohon yang menarik dan baik buahnya untuk dimakan. Apa tujuan Allah menempatkan manusia di situ? Untuk mengusahakan dan memelihara taman itu bagi Allah. Sebagai orang yang bekerja untuk Allah, manusia diperbolehkan memakan dengan bebas semua buah dari pohon-pohon dalam taman yang digarapnya.

Begitu juga menurut Rasul Paulus: “Jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan” (2 Tes. 3:10), dan “Jika ada seorang yang tidak memeliharakan sanak saudaranya, apalagi seisi rumahnya, orang itu murtad dan lebih buruk dari orang yang tidak beriman” (1 Tim. 5:8). Kita juga perlu bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik supaya dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan (Ef. 4:28) dan mendukung para hamba Tuhan yang melayani kita (Gal. 6:6).

Tetapi bagaimana pun juga, menghasilkan uang bukanlah tujuan bekerja yang sebenarnya. Menjadikan uang sebagai tujuan bekerja, sekalipun uang itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan kita dan menolong orang lain, sama saja dengan menyingkirkan Allah dan mengambil posisi-Nya sebagai “pemilik taman”. Padahal, kita hanyalah orang yang ditempatkan Allah untuk bekerja di sana. Karena itu, Rasul Paulus mengingatkan kita, bahwa “Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia” (Kol. 3:23), dan diperjelas lagi di bagian lain: “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Kor. 10:31).

Sejak semula, bekerja itu ibadah. Karena itu, pekerjaan adalah juga pelayanan. Manusia ditempatkan Allah di sebuah tempat tertentu untuk bekerja melayani Dia sehingga berbuah bagi kemuliaan-Nya. Inilah rencana Allah bagi Israel: “Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel” (Kel. 19:5-6).

Demikian juga rencana Allah bagi gereja-Nya: “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (1 Pet. 2:9).  Martin Luther menyebutnya: “imamat am orang percaya,” dimana seluruh dunia dapat dipenuhi dengan pelayanan kepada Allah, bukan hanya gereja, melainkan juga rumah, dapur, gudang, bengkel, dan ladang.

Yang menjadi imam bukan hanya pendeta, misionaris, atau full timer lainnya, tetapi juga semua orang yang bekerja dalam bidang pemerintahan, swasta maupun rumah tangga. Di sanalah arena untuk menerapkan kasih kepada Allah dan sesama, menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Kristus setiap hari dalam motivasi kita bekerja, cara kita bekerja, cara kita berelasi dengan orang lain, kualitas kerja kita, dan juga cara kita menggunakan uang hasil kerja kita. Di dalam semuanya itulah, nilai-nilai seperti kebenaran, keadilan, kejujuran, kesetiaan, kerja keras, disiplin, dan memberi yang terbaik mendapat tempatnya.


*Penulis adalah staf pelayanan mahasiswa Perkantas Semarang

Translate »