Indonesia bukanlah bangsa yang lahir dengan sendirinya. Ia berdiri di atas bumi yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Sebanyak 17.504 pulau menghampar, dihuni oleh 740 suku yang sudah pasti menyajikan budaya dan bahasa yang tak sama. Menjadi warga negara Indonesia berarti menjadi bagian dari sekian juta perbedaan, namun satu dalam bingkai Indonesia. Berdirinya Indonesia tidak ditukangi oleh satu golongan saja, namun melibatkan seluruh kelompok—besar dan kecil. Suku, agama ras, atau golongan sekecil apa pun itu tidak bisa tersingkir atau disingkirkan dari Indonesia. Kehadiran mereka adalah keutuhan negeri ini.
Bahaya fanatisme beragama
Namun demikian, tahun-tahun terakhir seolah menjadi tahun pamungkas ke-bhinekaan. Toleransi seperti berada di denyut akhir nadi menuju wafatnya. Sahut-menyahut berita permusuhan memekak pendengaran. Indonesia darurat intoleransi!
Kebencian berdasarkan agama semakin marak, padahal agama tidak seharusnya menjadi sumber permusuhan. Kini, berelasi dengan pemeluk agama yang berbeda harus menjadi sangat hati-hati, tidak seperti relasi adik-kakak dalam keluarga. Berbeda pendapat dan pandangan adalah hakikat manusia, bahkan saudara sedarah. Tapi menyingkirkan saudara sendiri hanya karena perbedaan pendapat? Itu bukan manusia namanya!
Fanatisme beragama menjadi sangat mudah dimanfaatkan sebagai alat kekuasaan, meraup untung bagi pribadi dan golongan. Fanatisme ini membuat oknum-oknum dengan mudah mengoyak kebhinekaan. Bahaya ini mesti kita waspadai.
Yesus dan toleransi
Suatu ketika Yesus lewat dari Samaria, dan dalam keletihan-Nya, Yesus duduk untuk beristirahat di pinggir sumur Yakub. Perempuan Samaria datang tak lama sesudahnya untuk menimba air.
“Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?” Jawab perempuan itu ketika Yesus meminta minum kepadanya.
Alih-alih memperdebatkan soal kesukuan dan membicarakan permusuhan lama antara Yahudi dan Samaria, Yesus justru membuka mata perempuan itu mengenai hakikat menyembah Allah. Yesus tidak meneriaki perempuan itu, “Kafir!”
Kita dan toleransi
Toleransi harus dimulai dari diri sendiri, kemudian keluarga, gereja, lingkungan, sekolah/kampus, tempat kerja, juga bangsa. Tanggung jawab harus kita ambil sebagai bagian dari Indonesia itu sendiri. Secara sadar, kita harus proaktif memilih untuk terus maju, mencintai mereka yang tidak mencintai kita sebagai sesama warga negara. Merangkul mereka yang memusuhi kita, jauh lebih memperbaiki ke-Indonesiaan kita. Mendoakan mereka dalam diam mungkin jauh lebih baik, daripada sekedar menuangkan kemarahan di ruang publik seperti media sosial.
Beragama harusnya bukan perlombaan. Kekristenan harus berdiri pada pijakan yang benar dalam penginjilannya. Kegerakan penginjilan harus didorong murni oleh kasih, kerinduan supaya setiap orang tanpa terkecuali menikmati anugrah keselamatan dari Kristus. Bukan didorong oleh phobia akan semakin berkurangnya jumlah orang Kristen di Indonesia.
Kita harus sepakat, bahwa Indonesia adalah rumah bersama, rumah yang harus bersama kita jaga keamanan dan kenyamanannya bagi siapapun. Tanpa terkecuali. Karena Indonesia adalah rumah tinggal semua.